Pukul tujuh pagi, Hari pertama.
Aku menyeduh secangkir tehku sambil berbincang di hadapmu.
Kusentuh lembut jemarimu yang begitu dingin,
namun tak lebih dingin dari embun pagi yang membasahi rerumputan.
Sinar matahari masih segaris, menelusup ke pori-pori halus kulitmu.
Dalam diammu aku bercerita,
Tentang sebuah tongkat yang merindukan mata buta Tuannya.
Di kepalaku; seorang musafir di padang pasir, mengusirku,
katanya, "telapak kakimu akan melepuh Tuan! pergilah!"
Pukul tujuh pagi, Hari kedua.
Kureguk secangkir tehku, mengusir hawa dingin di tubuh.
Kicau burung pagi terdengar begitu merdu.
Sedang engkau masih diam membisu.
Kukecup keningmu dengan begitu hening.
Mata air surga mengalir di sepasang mataku.
Dalam diammu aku bercerita.
Tentang seorang nelayan yang begitu bahagia,
melempar jaring-jaringnya ke udara,
Dia tak menangkap apa-apa.
Di kepalaku: seekor ikan berenang dalam kegaiban telaga.
namun sebuah batu terlempar dari tepian,
*
Pukul tujuh pagi, Hari ketiga.
Secangkir tehku tak pernah kau sentuh.
Secangkir tawa itu tak pernah kau rengkuh.
Selembar daun jatuh di antara rambutmu.
Di dahan rambutmu seranting benalu tumbuh.
Membunuh ingatanmu tentangku.
Dalam diammu aku bercerita.
Tentang hujan pada suatu senja.
Seorang gadis begitu tabah menafsir kesedihanku.
Di kepalaku; burung murai bertengger di dahan,
menjatuhkan kebahagiaannya di halaman.
*
Pukul tujuh pagi, Hari keempat.
Cepat teguk secangkir tehku!
Tatapanmu jauh menerawang.
Awan hitam menutup langit, serupa ingatanmu.
Aku masih begitu sabar menghadapi diammu.
Dalam diammu aku bercerita,
Tentang tawa bocah di atas ayunan.
Yang terjatuh dan menertawakan kesedihan.
Di kepalaku; sebuah taman bunga tumbuh.
Dengan bidadari yang terbang ke sana ke mari.
mengelilingi kelopak bunga matahari.
*
Pukul tujuh pagi, Hari kelima.
Aku bertanya, "secangkir tehku hambar rasanya?"
Beberapa helai rambutmu rontok di dalamnya.
Tak kau ucap sedikitpun kata dari bibirmu.
Tubuhmu menggigil, tertiup angin kesepianku.
Dalam diammu aku bercerita.
Tentang sebuah masa depan kebahagiaanmu.
Di kepalaku; seorang perempuan melukis senja.
Yang tidak lagi memerah, sedang kedua matanya buta.
*
Pukul tujuh pagi, hari keenam.
Beberapa benih ingatan telah kutanam di halaman.
Aku berharap pada suatu senja nanti ia tumbuh.
Beribu bunga ingatan yang begitu tabah, di basah ingatanku.
Dalam diammu aku bercerita.
Tentang sebuah jembatan kayu yang mulai rapuh.
Seorang gadis melintasinya begitu tegar,
Serupa segala debarku, menghadapimu.
Di kepalaku; Seorang kekasih menyeduhkan secangkir teh.
Tubuhnya mulai lelah, segala di kepalanya tertawa.
Tubuhnya mulai lelah, segala di kepalanya tertawa.
Nyala api membuat sebatang lilin paginya meleleh.
*
Pukul tujuh pagi, Hari ketujuh.
Mulutmu semakin membisu.
Secangkir tehku begitu dingin, larut dalam dingin tubuhmu.
Pagi yang hening, sama heningnya denganmu.
Dalam diammu aku bercerita.
Tentang seorang perempuan yang mati terbunuh.
Jasadnya belum ditemukan.
Di kepalaku; seorang lelaki menangis lalu tertawa.
Dia mengalami gangguan jiwa.
Karena begitu mencintai kekasihnya.
Dia mengalami gangguan jiwa.
Karena begitu mencintai kekasihnya.
Secangkir teh kehilangan tawa.
Pukul tujuh pagi, Hari ketujuh.
Lebih tepatnya seminggu yang lalu.
Maut menghampirimu.
.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar