Kereta Terakhir Dalam perjalananku

Selamat malam,
Siapa saja yang telah mendengar.
Apa saja yang telah kaubaca.
Dan entah, apa saja yang telah kaurasa.

Semoga kita masih berada dalam rentang waktu dan batasan dunia yang sama.
Mungkin bagimu, hidup telalu rumit,
atau bahkan segala yg dijatuhkan dari langit sebenarnya jauh lebih rumit dari kehidupan.
Seperti halnya kehidupan yang ada di sini, sama seperti di dalam dadaku ini.

Betapa ingin malam ini, ingatanku adalah sebuah lembah yang begitu basah.
Sedang engkau ialah, batu yang begitu tabah.
Mengakarkan lumut, menumbuhkan kehidupan yang kurasa patut,
untuk aku perjuangkan.



Sayang,
Bukankah dunia ini hanyalah sebuah jendela bagi sepasang mata?
Bukankah dunia ini hanyalah sebuah jembatan kayu yang mulai rapuh?
Bukankah dunia ini hanyalah sebuah garis takdir yang kita coba tafsirkan sendiri?

Segala yang kutakutkan selama ini akhirnya terjadi juga,
Aku memandang pada suatu pagi, ke arah jendela.
Dan tak kulihat lagi engkau di sana,
Entah karena mataku yang telah buta, atau kabut yang menutup pandangku.

Maka, berjalanlah aku pada sebuah jembatan.
Dan sekali lagi, tak kudapati engkau di ujung seberang.
Barangkali, seperti ini aku tafsirkan takdir "kita".
Bersabarlah sejenak, Sayang. Bersabar!!
Sebab aku yakin pada senja berikutnya, kita dapat kembali bersama.
Menertawakan kesedihan kita, dalam secangkir semesta.

Mungkin kini, kita telah sampai pada frase di mana aku dan kamu bukan lagi kita.
Tiada yang perlu kau sesali, bukankah hidup adalah sebuah perjalanan kereta?
Tunggu saja aku di Stasiun, duduk manis saja di bangku kedatangan,
Meski sering kali kereta yang membawaku datang terlambat waktu.
atau bahkan tak pernah membawaku ke mana-mana.
Seperti itu seharusnya engkau menafsirkan takdir.

Jangan pernah menangisi kehilangan ini, Cinta.
Hidupmu tak akan lebih indah, jika kau isi dengan segala airmata juga kehilangannya.
Mungkin aku telah terbiasa mengatakan hal yang bagimu, mungkin menyakitkan.
Kau hanya perlu mengerti, bukan harus ikut memikirkannya.

Cintai aku seperti dedauanan yang menghijaukan.
Seperti pagi yang begitu menyejukkan.
Sebelum ciuman-ciuman, juga pelukan digugurkan angin kesepian.

Dan pada sebuah gerimis malam ini,
Jatuhkan sebuah kebahagiaan, untuk kita, sepasang mata.
Hingga tiada kutahui, kesedihan siapa yang sudah kaujatuhkan.
Entah, langit ataukah engkau yang telah raib kusentuh.

Bagiku,
Tiada kehilangan yang lebih laut.
Sebab, kepadamu, segala debar juga rahasia,
Tiada mengenal pasang-surut.

Belajarlah mencintaiku,
Dari sgala apa yang tak kautahui,
Dari sepasang mata buta seorang nenek tua,
Yang dengan ayatayat, juga tongkat, yang menopang hidupnya.

Dengan segala kebaikan, aku jatuhkan airmata untukmu malam ini.
Maka, jadilah engkau seorang perempuan yang begitu mengagumkan.
Namun, jika kelak engkau masih mengharap keberadaanku.
Kau akan tahu di mana aku sekarang.

Akupun juga belajar dari setiap hal yang telah aku lewati.
Dalam sebuah perjalanan kereta ini kusandarkan sejenak punggung lelahku,
Sambil kembali kuingat segala debar yang telah kau hidupkan kembali di dadaku.
Dan ketika kulintasi senja, aku hanya mampu menikmatinya lewat kaca jendela kereta.
Semoga engkaupun sepertiku,

jadi, baikbaiklah kau nikmati perjalananmu,
bagiku, kepergian ini hanyalah sebuahkehilangan yg tiada abadi
namun aku sendiri tak mengetahui, kepada siapa aku pulang nanti.
jika engkau merindukan kebersamaan kita,
ingat lagi suara lonceng kedatangan kereta di stasiun ini!!
sejauh ini, aku masih merindukanmu.

4 komentar:

  1. aku suka dengan rangkaian kata ini
    Bagiku,
    Tiada kehilangan yang lebih laut.
    Sebab, kepadamu, segala debar juga rahasia,
    Tiada mengenal pasang-surut.

    keren banget nih brader, terus berkarya di rumah yang baru ini :-)

    BalasHapus
  2. owowowow, terimakasih kalian. muah muah :*

    BalasHapus
  3. kalimatnya bagus, penggalan sajaknya aku suka.
    keren bang!!
    buruan bikin buku,nanti aku jadi pembeli pertama deh.
    asal bukunya bertanda tangan dan di kasih cap bibir. hehehe

    BalasHapus