Aku Ingin Memukul Dada Ayahku Lebih Keras

Pagi ini ialah pagi yang paling asing bagi rumah kami. Dedaunan gugur dengan santun di halaman. Perasaan yang jatuh begitu lembut pada pipi Ibuku.  Seharusnya aku telah berangkat ke sekolah.

Namun Ayahku tak menjawab saat kupamiti. Tapi Ayahku tidak bisu. Tak ada usapan pada rambutku. Tapi Ayahku bukanlah batu. Berhari-hari kerjaannya hanya tidur, tidur dan tertidur,  tapi beliau bukan seorang pemalas.

Ayah tidak sedang berpuasa, tapi beberapa hari ini tak sesuap pun makanan Ia telan. Aku ingin lekas bertumbuh dan bertambah besar. Aku ingin kepalanku sebesar telapak Ayah. Tapi telapakku terlalu mungil. Telapakku terlalu kecil.  Aku membencinya pagi ini.

Entah selapang apa dada Ibuku. Setahun belakangan Ia menjadi buruh cuci untuk menghidupi kami. Sementara Ayahku tugasnya hanya tidur saja. Tapi aku yakin jika Ayahku bukan seorang pemalas. Ia bukan seorang pemalas.

Hari ini aku benar-benar membenci Ayahku. Ia telah membuat Ibuku meneteskan air matanya. Pagi ini aku benar-benar ingin memukul dengan keras dada Ayahku. Jika saja kepalanku sebesar kepalanmu, Ayah.

Aku akan memukul dadamu lebih keras, agar garis pada layar monitor sebesar televisi kita ini tak hanya segaris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar